Baru-baru ini, kebijakan pemerintah DKI Jakarta terkait pajak fasilitas olahraga kembali menjadi sorotan publik. Berbagai kalangan mempertanyakan keputusan untuk tidak mengenakan pajak hiburan sebesar 10% pada olahraga golf, seperti yang diterapkan pada beberapa jenis olahraga lain. Dalam upaya memberikan klarifikasi atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, seorang pejabat penting dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberikan penjelasan yang komprehensif, mengungkapkan dasar pemikiran di balik perbedaan perlakuan pajak ini.
Pada tanggal 10 Juli 2025, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo, secara resmi menyampaikan alasan di balik pengecualian olahraga golf dari pajak hiburan yang berlaku. Dalam penjelasannya, Pramono menegaskan bahwa golf, berbeda dengan olahraga lain seperti tenis dan padel, telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%. Menurut beliau, prinsip perpajakan di Indonesia melarang pengenaan pajak ganda terhadap objek yang sama. Oleh karena itu, karena golf sudah dikenakan PPN, tidak adil jika dikenakan pajak hiburan tambahan.
Pernyataan ini muncul di tengah perdebatan publik mengenai daftar 21 fasilitas olahraga yang masuk dalam kategori objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa kesenian dan hiburan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Di antara fasilitas yang dikenai pajak ini adalah lapangan futsal, tenis, bulutangkis, serta tempat kebugaran seperti yoga dan pilates. Keputusan terkait fasilitas olahraga ini, termasuk lapangan padel, didasarkan pada Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025, yang merupakan perubahan kedua dari Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024 yang ditandatangani pada 20 Mei 2025. Pramono menekankan bahwa kebijakan ini bukan inisiatif semata dari pemerintah Jakarta, melainkan implementasi dari undang-undang yang telah ditetapkan.
Kebijakan perpajakan ini menggarisbawahi upaya pemerintah dalam menciptakan sistem pajak yang adil dan transparan, sekaligus memastikan bahwa setiap sektor menyumbang sesuai dengan kerangka regulasi yang ada. Perdebatan mengenai pajak golf versus pajak hiburan untuk olahraga lain menyoroti kompleksitas dalam penerapan kebijakan fiskal yang harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk jenis pajak yang sudah dikenakan. Dari sudut pandang seorang jurnalis, penting untuk terus mengawasi bagaimana kebijakan seperti ini memengaruhi masyarakat dan sektor ekonomi, serta memastikan bahwa komunikasi pemerintah jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak. Transparansi dan akuntabilitas dalam keputusan perpajakan adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik dan mendorong kepatuhan.
Aktris dan mantan anggota After School, Nana, baru-baru ini menarik perhatian publik dengan kisahnya yang luar biasa mengenai proses penghapusan tato. Ia memilih untuk menjalani prosedur ini tanpa bantuan krim anestesi, sebuah keputusan yang menunjukkan tingkat toleransi rasa sakit yang tinggi serta keinginan kuat untuk memenuhi harapan ibunya. Kisah ini tidak hanya menyoroti ketahanan fisiknya, tetapi juga kedalaman hubungan emosional dengan keluarganya, khususnya sang ibu.
Motivasi Nana untuk menghilangkan hampir semua tatonya berakar pada permohonan sang ibu yang mengharapkan perubahan dalam penampilannya. Respons Nana terhadap permintaan ini menunjukkan kedewasaan dan kesediaan untuk mengambil langkah signifikan demi orang yang dicintai. Proses penghapusan tato, yang dikenal menyakitkan, menjadi bukti nyata dari tekadnya. Dengan hanya menyisakan satu tato yang bermakna, Nana memperlihatkan penghargaannya terhadap nilai-nilai keluarga sambil tetap memegang erat bagian dari masa lalunya.
Nana, yang dikenal dengan ketangguhannya, memilih untuk menjalani prosedur penghapusan tato di berbagai area tubuh tanpa menggunakan krim anestesi. Keputusan ini diambil bukan karena ketidakpedulian terhadap rasa sakit, melainkan karena efisiensi waktu. Ia merasa proses pengaplikasian krim dan menunggu efeknya bekerja akan membuang banyak waktu yang berharga. Hal ini menunjukkan prioritas Nana dalam mengefisienkan proses, bahkan jika itu berarti harus menghadapi ketidaknyamanan fisik secara langsung.
Rasa sakit yang dialami Nana selama sesi penghapusan tato bervariasi tergantung pada lokasi tato. Bagian-bagian tubuh seperti dada, punggung, tulang rusuk, dan bagian atas kaki menjadi area yang paling intens rasa sakitnya. Namun, dengan toleransi rasa sakit yang tinggi, Nana berhasil melewati setiap sesi. Pengalamannya ini menegaskan bahwa kekuatan mental dan fisik berperan besar dalam menghadapi tantangan yang menyakitkan, dan Nana dengan berani menghadapi setiap tahapan proses penghapusan tatonya tanpa ragu.
Keputusan Nana untuk menghapus tatonya bermula dari inisiatif ibunya, yang dengan lembut menyarankan agar ia mempertimbangkan kembali penampilannya. Nana menerima permintaan ini dengan tangan terbuka, menunjukkan bahwa keputusannya didasari oleh rasa cinta dan hormat kepada ibunya, bukan paksaan. Hubungan yang erat antara Nana dan ibunya menjadi pendorong utama di balik perubahan besar ini. Hal ini juga mencerminkan pentingnya dukungan keluarga dalam setiap langkah hidup yang diambil.
Dari sekian banyak tato yang dihilangkan, Nana sengaja menyisakan satu tato di tulang keringnya yang bertuliskan '1968', tahun kelahiran ibunya. Tato ini menjadi simbol abadi dari cinta dan penghormatan Nana kepada sosok ibunya, yang digambarkan sebagai pribadi yang sangat berpikiran terbuka dan menyenangkan. Kedekatan mereka terbukti dari berbagai aktivitas yang mereka lakukan bersama, termasuk mengunjungi klub malam dan merayakan momen-momen penting. Kedalaman hubungan ini menyoroti bagaimana kasih sayang keluarga dapat menjadi inspirasi dan kekuatan dalam menjalani kehidupan.
Banyak individu merasa sangat terganggu saat mendengar orang lain makan atau mengunyah dengan suara keras. Reaksi ini, yang mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, sebenarnya merupakan manifestasi dari kondisi ilmiah yang dikenal sebagai misofonia. Kondisi ini menyebabkan individu merasa jijik atau cemas secara intens terhadap suara-suara tertentu.
Misofonia dapat memengaruhi siapa saja, meskipun penelitian menunjukkan bahwa wanita memiliki prevalensi yang lebih tinggi, dengan persentase antara 55% hingga 83% dari kasus yang dilaporkan. Kondisi ini juga dapat muncul pada usia berapa pun, namun sering kali berkembang pada masa remaja awal.
Berbagai jenis suara dapat menjadi pemicu misofonia. Ini termasuk suara mengecap bibir, mengunyah makanan atau permen karet dengan mulut terbuka, suara renyah, menyeruput, atau menelan ludah yang terdengar jelas. Selain itu, suara-suara seperti mendengkur, napas berat, ketukan jari atau kaki, suara pulpen, ketikan keyboard yang keras, membersihkan tenggorokan, batuk, detak jam, dan gemerisik kertas atau plastik juga sering kali menjadi pemicu.
Reaksi terhadap suara pemicu misofonia dapat bervariasi. Secara emosional, individu mungkin merasakan kemarahan, jijik, kecemasan, kejengkelan, atau kekesalan. Gejala fisik yang dapat muncul meliputi peningkatan tekanan darah, perasaan tertekan atau sesak, merinding, peningkatan detak jantung, dan keringat berlebih. Dalam hal perilaku, penderita misofonia cenderung menghindari situasi yang mungkin memicu suara tersebut, segera meninggalkan area saat suara muncul, atau bahkan menegur sumber suara tersebut.
Penelitian ilmiah telah mengungkapkan bahwa individu dengan misofonia memiliki perbedaan tertentu dalam struktur dan aktivitas otak mereka. Salah satu temuan kunci adalah adanya koneksi dan aktivitas yang lebih tinggi di area otak yang bertanggung jawab untuk memproses suara dan mengelola emosi. Sistem pendengaran dan emosi, yang merupakan bagian dari mekanisme pertahanan diri bawaan otak, dapat bereaksi secara berlebihan. Kondisi ini dapat dianalogikan dengan volume radio yang tiba-tiba diperbesar, memicu respons alami untuk menghentikan suara tersebut. Misofonia secara keliru menempatkan otak dalam mode siaga, yang kemudian memicu reaksi emosional, fisik, dan perilaku yang tidak menyenangkan.