Pulau Bali, yang dikenal sebagai salah satu tujuan wisata paling memukau di dunia, kini bergulat dengan konsekuensi dari popularitasnya yang luar biasa. Berdasarkan laporan Visual Capitalist, Bali kini menempati posisi sebagai pulau terpadat kedua di dunia, tepat di bawah Pulau Jawa. Situasi ini, yang dikenal sebagai overtourism, menyebabkan penduduk asli merasa terdesak dan kualitas hidup mereka terancam oleh lonjakan jumlah wisatawan.
Jumlah kunjungan wisatawan harian ke Bali mencapai lebih dari 60.000 orang. Dengan luas sekitar 5.780 kilometer persegi dan populasi sekitar 4,2 juta jiwa, Bali mencatat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, yaitu 731 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan ini memicu berbagai masalah, mulai dari keterbatasan ruang, beban pada infrastruktur yang ada, hingga degradasi kualitas lingkungan. Faktor-faktor sosial, ekonomi, dan geografis secara kompleks berkontribusi pada kondisi kepadatan yang semakin rumit ini.
Meskipun demikian, Kepala Dinas Pariwisata Bali, Tjok Bagus Pemayun, menyatakan bahwa Bali masih memiliki kapasitas untuk menampung wisatawan, terutama jika dilihat dari ketersediaan akomodasi. Namun, ia mengakui adanya kendala signifikan dalam hal kemacetan lalu lintas. Pemayun juga menegaskan pentingnya kesiapan Bali dalam mengelola lonjakan pengunjung, khususnya selama periode liburan puncak seperti Natal dan Idul Fitri, karena sebagai destinasi global, Bali harus selalu siap menghadapi berbagai event dan kondisi.
Fenomena overtourism di Bali menjadi sebuah cerminan penting tentang bagaimana pembangunan pariwisata yang tidak terkontrol dapat berdampak negatif pada keseimbangan lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam mencari solusi yang berkelanjutan, memastikan bahwa keindahan dan keberlanjutan Bali dapat dinikmati oleh generasi mendatang, sembari tetap menjaga kesejahteraan masyarakat lokal.
Baru-baru ini, kebijakan pemerintah DKI Jakarta terkait pajak fasilitas olahraga kembali menjadi sorotan publik. Berbagai kalangan mempertanyakan keputusan untuk tidak mengenakan pajak hiburan sebesar 10% pada olahraga golf, seperti yang diterapkan pada beberapa jenis olahraga lain. Dalam upaya memberikan klarifikasi atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, seorang pejabat penting dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberikan penjelasan yang komprehensif, mengungkapkan dasar pemikiran di balik perbedaan perlakuan pajak ini.
Pada tanggal 10 Juli 2025, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo, secara resmi menyampaikan alasan di balik pengecualian olahraga golf dari pajak hiburan yang berlaku. Dalam penjelasannya, Pramono menegaskan bahwa golf, berbeda dengan olahraga lain seperti tenis dan padel, telah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%. Menurut beliau, prinsip perpajakan di Indonesia melarang pengenaan pajak ganda terhadap objek yang sama. Oleh karena itu, karena golf sudah dikenakan PPN, tidak adil jika dikenakan pajak hiburan tambahan.
Pernyataan ini muncul di tengah perdebatan publik mengenai daftar 21 fasilitas olahraga yang masuk dalam kategori objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa kesenian dan hiburan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Di antara fasilitas yang dikenai pajak ini adalah lapangan futsal, tenis, bulutangkis, serta tempat kebugaran seperti yoga dan pilates. Keputusan terkait fasilitas olahraga ini, termasuk lapangan padel, didasarkan pada Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025, yang merupakan perubahan kedua dari Keputusan Kepala Bapenda Nomor 854 Tahun 2024 yang ditandatangani pada 20 Mei 2025. Pramono menekankan bahwa kebijakan ini bukan inisiatif semata dari pemerintah Jakarta, melainkan implementasi dari undang-undang yang telah ditetapkan.
Kebijakan perpajakan ini menggarisbawahi upaya pemerintah dalam menciptakan sistem pajak yang adil dan transparan, sekaligus memastikan bahwa setiap sektor menyumbang sesuai dengan kerangka regulasi yang ada. Perdebatan mengenai pajak golf versus pajak hiburan untuk olahraga lain menyoroti kompleksitas dalam penerapan kebijakan fiskal yang harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk jenis pajak yang sudah dikenakan. Dari sudut pandang seorang jurnalis, penting untuk terus mengawasi bagaimana kebijakan seperti ini memengaruhi masyarakat dan sektor ekonomi, serta memastikan bahwa komunikasi pemerintah jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak. Transparansi dan akuntabilitas dalam keputusan perpajakan adalah kunci untuk membangun kepercayaan publik dan mendorong kepatuhan.
Aktris dan mantan anggota After School, Nana, baru-baru ini menarik perhatian publik dengan kisahnya yang luar biasa mengenai proses penghapusan tato. Ia memilih untuk menjalani prosedur ini tanpa bantuan krim anestesi, sebuah keputusan yang menunjukkan tingkat toleransi rasa sakit yang tinggi serta keinginan kuat untuk memenuhi harapan ibunya. Kisah ini tidak hanya menyoroti ketahanan fisiknya, tetapi juga kedalaman hubungan emosional dengan keluarganya, khususnya sang ibu.
Motivasi Nana untuk menghilangkan hampir semua tatonya berakar pada permohonan sang ibu yang mengharapkan perubahan dalam penampilannya. Respons Nana terhadap permintaan ini menunjukkan kedewasaan dan kesediaan untuk mengambil langkah signifikan demi orang yang dicintai. Proses penghapusan tato, yang dikenal menyakitkan, menjadi bukti nyata dari tekadnya. Dengan hanya menyisakan satu tato yang bermakna, Nana memperlihatkan penghargaannya terhadap nilai-nilai keluarga sambil tetap memegang erat bagian dari masa lalunya.
Nana, yang dikenal dengan ketangguhannya, memilih untuk menjalani prosedur penghapusan tato di berbagai area tubuh tanpa menggunakan krim anestesi. Keputusan ini diambil bukan karena ketidakpedulian terhadap rasa sakit, melainkan karena efisiensi waktu. Ia merasa proses pengaplikasian krim dan menunggu efeknya bekerja akan membuang banyak waktu yang berharga. Hal ini menunjukkan prioritas Nana dalam mengefisienkan proses, bahkan jika itu berarti harus menghadapi ketidaknyamanan fisik secara langsung.
Rasa sakit yang dialami Nana selama sesi penghapusan tato bervariasi tergantung pada lokasi tato. Bagian-bagian tubuh seperti dada, punggung, tulang rusuk, dan bagian atas kaki menjadi area yang paling intens rasa sakitnya. Namun, dengan toleransi rasa sakit yang tinggi, Nana berhasil melewati setiap sesi. Pengalamannya ini menegaskan bahwa kekuatan mental dan fisik berperan besar dalam menghadapi tantangan yang menyakitkan, dan Nana dengan berani menghadapi setiap tahapan proses penghapusan tatonya tanpa ragu.
Keputusan Nana untuk menghapus tatonya bermula dari inisiatif ibunya, yang dengan lembut menyarankan agar ia mempertimbangkan kembali penampilannya. Nana menerima permintaan ini dengan tangan terbuka, menunjukkan bahwa keputusannya didasari oleh rasa cinta dan hormat kepada ibunya, bukan paksaan. Hubungan yang erat antara Nana dan ibunya menjadi pendorong utama di balik perubahan besar ini. Hal ini juga mencerminkan pentingnya dukungan keluarga dalam setiap langkah hidup yang diambil.
Dari sekian banyak tato yang dihilangkan, Nana sengaja menyisakan satu tato di tulang keringnya yang bertuliskan '1968', tahun kelahiran ibunya. Tato ini menjadi simbol abadi dari cinta dan penghormatan Nana kepada sosok ibunya, yang digambarkan sebagai pribadi yang sangat berpikiran terbuka dan menyenangkan. Kedekatan mereka terbukti dari berbagai aktivitas yang mereka lakukan bersama, termasuk mengunjungi klub malam dan merayakan momen-momen penting. Kedalaman hubungan ini menyoroti bagaimana kasih sayang keluarga dapat menjadi inspirasi dan kekuatan dalam menjalani kehidupan.